Rabu, 15 April 2009

PENGARUH KONDISI SOSIAL TERHADAP KREATIFITAS

Oleh: Maswan

Kita yang melakukan pencarian secara kreatif di lingkungan, saat ini kurang memberikan latihan imajinatif. Tetapi, tidak demikian halnya dengan generasi sebelum kita. Keadaan alam sekitar telah memaksa nenek moyang untuk menggunakan kreatifitas dalam setiap kesempatan, atau apapun sebutannya. Mereka tetap dapat melatih kecerdasan tanpa memerukan latihan imajinasi.
Semangat berusaha yang membawa kita untuk meggunakan bakat kreatif, sebagian berasal dari lingkungan dan sebagian lgi merupakan factor keturunan.
Para nenek moyang, merupakan orang pertama yang merintis jalan pembangunan, lewat kecerdasannya. Dengan berlalunya waktu hampir setiap negara dapat menerima warisan dari nenek moyangnya. Sebutan sesuatu yang baru tidak diperhatikan bagi orang-orang yang malas dan tidak imajinatif, sedangkan orang yang berinisiatif besar, sebutan itu merupakan ungkapan yang membanggakan. Dari kenyataan itulah, sehingga muncul perkataan, rasa tidak puas, jiwa muda dan semangat perintis selalu berusaha mencari yang terbaik. Inti dari semangat ini adalah bekerja keras, dan hasilnya adalah suasana yang menyuburkan imajinasi kreatif, yang tidak pernah ditemui dimana pun juga.
Kreatifitas terbentuk karena seringnya mengatasi rintangan-rintangan yang keras. Selama jaman kolonial, hampir semua jenis aktifitas produktif dilarang muncul. Itulah sebabnya, mengapa kita tidak mempunyai pengalaman sebagai petunjuk untuk berkreatifitas. Kini persoalannya menjadi lain, peluang untuk memunculkan aktifitas yang produktif terbula lebar, namun kenyataannya sering tidak ditampakkan. Hal semacam ini seolah-olah terjadi karena kita sudah tidak ditantang kesulitan-kesulitan yang terlalu keras. Kehidupan ini semakin nikmat, tanpa hambatan, dan ketenangan membuat orang terlena.
Kadang di tengah-tengah kenikmatan palsu dari kehidupan kita, mengalami penurunan kemampuan kreatifitas. Seakan-akan kita kehilangan apa yang seharusnya digunakan. Ini merupakan aksioma yang terjadi pada pikiran dan kekuatan kita.

Urbanisasi Versus Imajinasi
Desa melahirkan kota, menghidupinya dengan makanan yang terbaik. Dan sekarang ini hampir di kota-kota besar memeras desa-desa sampai kering, dengan tuntutan-tuntutan yang tidak pernah terpuaskan, tidak ada henti-hentinya, dan terus menyerap mengalirnya manusia-manusia yang masih segar dari desa.
Kehidupan kota mempunyai kecenderungan untuk melemahkan kekuatan imajinasi, kecuali hanya beberapa orang yang bergerak dalam bidang seni, bidang perdagangan dan ilmu pengetahuan yang bersifat kreatif. Kebanyakan orang-orang yang bekerja dengan tugas-tugas rutin, kurang melatih kecerdasan dibandingkan dengan orang yang bekerja di bidang pertanian. Satu bukti yang menunjukkan bahwa latar belakang kehidupan desa jauh lebih membantu perkembangan kreatifitas dapat dilihat dari adanya perbandingan dari pimpinan-pimpinan yang lahir di pedesaan di antara pimpinan yang lahir di kota.
Kebanyakan penduduk kota metropolitan tidak perlu menjadi tukang yang ahli. Di pojok-pojok kota, telah banyak ahli yang dapat dipanggil untuk memperbaiki barang-barang yang rusak. Kemajuan pesat dari dunia telekomunikasi (telepon) dan transportasi (mobil) telah menyebarkan aliran spesialisasi dan ikut andil dalam meluaskan kemerosotan kecerdasan. Masa lampau, belum banyak mobil seperti sekarang ini, para pengemudi bila mobilnya mengalami kerusakan, dapat bongkar pasang kembali, tetapi sekarang bila mobilnya mengalami kerusakan, hanya mengangkat telepon pada bengkel yang terdekat. Bahkan pengemudi yang profesional sekali pun tidak perlu menggunakan akal untuk menghadapi kerusakan mobilnya. Kebanyakan sopir taksi sekarang ini gampang sekali kebingunngan hanya gara-gara busi yang macet saja.

Perubahan yang Terjadi dengan Rangsangan Kreatif
Kehidupan yang penuh kemudahan tidak saja mematikan kreatifitas, tetapi juga cenderung menjadikan kehidupan yang kritis, sikap terlalu sombong terhadap yang berbuat sesuatu dan akan membahayakan. Sikap yang demikian mempunyai kecenderungan untuk mematikan kreatifitas, baik bagi yang menerima atau bagi yang mengejek.
Kelompok pemberi semangat biasanya memberikan dorongan pada kita yang berusaha keras. Tetapi sekarang ini sangat berkurang, kenyataannya menjadi kebalikan, seperti kasus pekerja, diskores oleh perusahaan tempat ia bekerja, karena ia bekerja terlalu tergesa-gesa, supaya dapat menghidupi keluarganya.
Pekerjaan yang dilakukan terlalu cepat dan tergesa-gesa, merupakan ancaman yang serius terhadap pertumbuhan kreatifitas. Hal seperti ini didasarkan pada keyakinan bahwa ketekunan terhadap pekerjaan yang dihadapi, mempunyai pengaruh yang besar terhadap kecerdasan. Padahal apabila pekerjaan dilakukan dengan tergesa-gesa, akan kehilangan kepercayaan dan dapat menimbulkan akibat yang parah dan juga akan menghancurkan kreatifitas karena melakukan kesalahan.
Hampir semua pelajar sekolah menengah atas, yang hampir lulus, jika ditanya pekerjaan apa yang paling disenangi, jawabnya adalah ingin menjadi pegawai negeri. Keranjigan memperoleh jabatan yang lebih mudah dan aman, merupakan salah satu penyebab terhambatnya pengembangan kreatifitas.
Di sisi lain, perang dapat mempuyai dampak dalam penurunan kreatifitas, walaupun perang itu merupakan alat pemacu bagi ilmuwan-ilmuwan yang kreatif. Akan tetapi perang juga menimbulkan efek yang dapat melumpuhkan para seniaman dan pelukis. Penurunan mutu imajinasi yang kreatif dalam bidang kesusasteraan dan keteateran, selama masa perang merupakan salah satu gejala yang seringkali diamati dan didiskusikan di mana-mana. Dalam hal ini sudah menjadi bukti yang tidak dapat disangakal lagi.
Kita yang bergerak dalam peperangan atau kemiliteran, kebanyakan jarang sekali melatih imajinasi, apa yang dilakukan hanyalah semata melaksanakan apa yang diperintahkan atasan saja.
Perang kecuali berfungsi sebagai pendorong pikiran kreatif bagi pemimpin militer dan penemu, juga dapat menjadikan lingkungan atau bangsa semakin kurang kreatif.

Latihan Berkreasi dalam Dunia Pendidikan
Banyak para pendidik yakin bahwa perubahan tingkah laku menuntut lebih banyak latihan dalam kreatifitas. Beberapa orang malah merasa takut bahwa banyak program pendidikan yang cenderung mematikan imajinasi anak, sedangkan di Taman Kanak-kanak bakat ini dipupuk subur, tetapi di Sekolah Dasar dan Menengah, biasanya pendidikan cenderung menekan tumbuhnya imajinasi.
Dalam dunia pendidikan, diharapkan mempunyai program untuk meningkatkan daya kreatifitas anak didik. Dalam kenyataannya lulusan perguruan tinggi, tidak memiliki tingkat kreatifitas yang lebih tinggi, dari pada orang-orang yang bukan lulusan sekolah tinggi, yang seharusnya dia miliki. Menurut Dr. J.P. Geuilford, keluhan yang paling umum berkaitan dengan lulusan perguruan tinggi yang bekerja sebagai peniliti, adalah mereka menunjukkan kemahirannya dalam menyusun tugas yang menuntut penggunaan ilmu yang dipelajari, tetapi tidak berdaya apabila diminta melakukan atau memecahkan masalah-masalah yang memerlukan cara-cara baru.
Otak yang terisi penuh merupakan hal yang terpenting dalam kreatifitas, karena merupakan persediaan yang diperlukan dalam membentuk ide-ide baru. Tetapi sebaliknya, kekosongan merupakan bahaya yang tersembunyi dalam pengisian ingatan. Dalam buku, The Aim Of Education, Alfred North Whitehead menyerukan peringatan ”kita harus sadar terhadap apa yang disebut Inert Ideas, yaitu ode-ide yang hanya diterima pikiran kita tanpa diolah dulu atau diuji dan diubah lebih dulu. Tetapi, anehnya hampir setiap kurikulum menekankan penerimaan dan penyimpanan data semacam itu”.
Hambatan lainnya adalah apa yang disebut sebagai sikap akademis, yaitu penguasaan semangat toleransi dan pandangan ilmiah sampai pada pegorbanan impuls-impuls kreatif. Kenyataannya adalah bahwa pencetusan ide seringkali menuntut semangat yang luar biasa.
Kepasifan merupakan perangkap yang paling berbahaya bagi dunia pendidikan. Untuk mengatasi hambatan ini, murid-murid harus memperoleh penilaian yang sebenaranya mengenai peranan yang sebenarnya, baik pegetahuan, keterampilan maupun sikap serta kreatifitas lainya.
Dalam hubungan ini, kita pun menyangkal bahwa penulis itu dilahirkan sebagai penulis, dan apa yang ditulisnya itu meluncur dari otak dengan sendirinya. Untuk membuktikan hal tersebut, kita dapat membaca autobiogragi beberapa penulis terkemuka. Penulis tampil menjadi seorang penulis yang baik, memerlukan proses panjang lewat pendidikan dan latihan.
Tujuan pokok pendidikan adalah mengajar dan mendidik anak, dan bahwa fsifat yang paling berharga yang dapat diperoleh adalah kemampuan menjadikan dirinya sendiri untuk mengerjakan hal-hal yang harus dikerjakan. Dan jika hal itu harus dikerjakan, apakah sesuai dengan minat atau tidak.
Menurut Stenley Czurles, Direktur pendidikan seni di New York State College For Teacher, biasanya, dan bahkan dalam pengajaran seni, pendidikan pra perguruan tinggi, cenderung menjadi anti kreatif. Ia mengatakan, seorang anak merupakan makhluk yang sangat kreatif sampai ia masuk sekolah. Kemudian, daam pendidikn tradisional, hampir semua mata pelajaran yang diberikan kepadanya cenderung menghambat imajinasinya. Misalnya, masing-masing murid diberi secarik kertas dengan warna yang sama; diajarkan bagaimana cara melipat, menggunting dan menandai kertas itu dengan cara yang sama. Para murid diperlihatkan bagimana cara memotong dan di mana harus dilkukan pemotongan, dan semua diberikan dengan pola yang sama, maka hasilnya setiap anak keluar dengan membwa desain yang sama pula. Murid tidak diberi dorongan utuk mengembangkan imajinasinya dan tidak pula diberi rangsangan untuk berkreasi. Metode yang demikian itu akan jauh lebih jelek, bila murid-murid dibiarkan memilih warna sendiri, melipat, menggunting, memotong sendiri agar dapat menyelidiki berbagai kemungkinan sesuai denagan inisiatif mereka sendiri. Dengan demikian, kita dapat mengobarkan percikan kreatifitas murid, sedang cara seperti diatas cenderung mematikan kreatifitas.
Bebarapa sekolah maju merupakan eksponen-eksponen dari latihan kreatifitas. Demikian juga sekolah-sekolah fakultas atau kejuruan. Seharusnya dalam menciptakan situasi yang dinamis atau mengarah pada pengembangan kreatifitas, perlu anak diarahkan pemanfaatan barang-barang yang sudah tidak terpakai. Anak-anak disuruh merancang peralatan sendiri. Kesempatan untuk menciptakan, merancang dan berkreasi harus diberikan di setiap sekolah dan disetiap kelas.
Pendidikan mempunyai tugas khusus untuk mendorong dan membantu muridnya untuk mengembangkan bakat yang dimilikinya. Dan itulah yang sangat penting, yaitu murid harus diajarkan bagaimana cara menggunakan pikiran. Dan perlu ditekankan akan perlunya pengembangan proses mental, secara informal yang disebut sebagai pertimbangan, di mana refleksi mengenai pengalaman di masa lalu mengarahkan pada perumusan nilai-nilai melalui perbandingan dan pemilihan imajinasi. Yang beberapa proses pemikiran mengarah pada perumusan gambaran atau konsep mental. *****


Maswan, dosen, Pembantu Dekan (PD III) Fakultas Tarbiyah INISNU Jepara



IDENTITAS PENULIS:

Nama : Maswan
Tempat/tgl lahir : Jepara, 21 April 1960
Pekerjaan : Dosen
Pendidikan : S2 Magister Manajemen
Alamat Rumah : Jerukwangi RT 01/RW VII Bangsri Jepara 59453
Alamat Kantor : INISNU Jepara, Jl. Taman Siswa (Pekeng)Tahunan Jepara
Jln. Taman Siswa (Pekeng) No. 9 Tahunan Jepara Telp/Fax (0291)593132.E-mail:inisnujpa@yahoo.co.id,http\\ www.inisnujepara.ac.id
Kontak person : 081325702426, email: maswan.drs@7gmail.com
Pengalaman menulis: 1. Menulis beberapa artikel dan resensi buku yang terbit di bebepa surat kabar.
2. Menulis beberapa judul buku
Pengalaman bidang Jurnalistik:
1. Pernah menjadi Wartawan dan pengelola surat kabar kampus IKIP Malang (Universitas Negeri Malang).
2. Ketua penyunting Jurnal Ilmih Fakultas Tarbiyah INISNU Jepara





Tidak ada komentar:

Posting Komentar